Di dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2012, dijelaskan bahwa
yang menjadi objek ganti kerugian dalam pengadaan tanah adalah tanah, ruang
atas tanah dan bawah tanah, bangunan, tanaman, benda yang berkaitan dengan
tanah, dan/atau kerugian lain yang dapat dinilai (Pasal 33). Lalu, bagaimana
dengan penilaian pengadaan tanah untuk kepentingan umum khusus objek penilaian
yang seluruhnya berada di ruang bawah tanah?
Contoh kasus:
Rencana pengadaan tanah untuk pembangunan saluran pipa gas
atau air di kedalaman 20-80 m di bawah permukaan tanah. Pembangunan pipa gas
atau air tersebut dilakukan dengan mesin bor seperti pembangunan subway di Jakarta (silent construction). Jenis penggunaan tanah di atas saluran pipa
gas/air tersebut didominasi oleh lahan pertanian dan areal kosong. Pertanyaan:
apakah pemilik tanah di permukaan mendapat ganti kerugian berdasarkan UU No.
2/2012 dan SPI 306 tentang Penilaian Ganti Kerugian untuk Kepentingan Umum?
Penjelasan:
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, terdapat beberapa hal
yang perlu ditelaah terlebih dahulu.
1. Ruang
Bawah Tanah dan Asas Pemisahan Horizontal
Di dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2012, dijelaskan bahwa
yang menjadi objek ganti kerugian dalam pengadaan tanah adalah tanah, ruang
atas tanah dan bawah tanah, bangunan, tanaman, benda yang berkaitan dengan
tanah, dan/atau kerugian lain yang dapat dinilai (Pasal 33).
Terkait ruang bawah tanah, Peraturan Presiden No. 17 Tahun 2012
(Pasal 1, ayat 22) pun menyatakan ruang atas tanah dan bawah tanah adalah ruang
yang ada dibawah permukaan bumi dan/atau ruang yang ada di atas permukaan bumi sekedar
diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan
tanah.
Saat ini belum ada peraturan khusus tentang pemanfaatan
ruang bawah tanah. Namun, pembahasan mengenai ruang bawah tanah sedikitnya terdapat
pada Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Terkait dengan hal ini, maka perlu
diketahui mengenai asas pemisahan horizontal yang dianut oleh Indonesia.
Asas pemisahan horizontal memiliki pengertian tanah hanya meliputi
permukaan tanah saha sehingga apa yang melekat atau berdiri di atasnya dan apa
yang terkandung di bawahnya bukanlah satu kesatuan melainkan bentuk-bentuk yang
terpisah. Oleh karena itu, tanah terpisah dari benda yang berada di atas tanah
itu, sehingga pemilik tanah atas tanah dan bangunan yang berada di atasnya
dapat berbeda.
Terkait pula dengan pemberian kewenangan hak atas tanah. Hak
atas tanah hanya sebatas permukaan tanahnya saja sedangkan bangunan atau apapun
yang melekat di atas tanah akan berbeda hak kepemilikannya dengan tanah
tersebut. Hal ini membuka kemungkinan bahwa individu yang menjadi pemegang hak atas
benda yang melekat di atas tanah berbeda dengan individu yang memegang hak atas
tanah. Sehingga, muncul istilah hak primer dan hak sekunder. Hak primer mencakup
hak milik dan hak menguasai oleh negara. Sedangkan hak sekunder mencakup hak
pengelolaan (HPL), hak pakai (HP), hak guna bangunan (HGB), hak guna usaha
(HGU), dan sebagainya.
Asas pemisahan horizontal tertuang pada UUPA (Pasal 4 ayat
(2), yang berbunyi:
“Hak-hak atas tanah yang
dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah
yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di
atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan langsung berhubungan dengan
penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-undang ini dan
peraturan hukum lain yang lebih tinggi.”
2. Hak
atas Tanah
Tanah dalam pengertian kepemilikan adalah permukaan,
sementara apa yang ada di bawah tanah hanya hak penggunaan atau hak
pemanfaatan. Dalam pengertin real
property, hak penggunaan atas tanah adalah hingga ke perut bumi.
3. Analisis
Pengadaan Tanah di Ruang Bawah Tanah
Terkait dengan pengadaan tanah bagi kepentingan umum yang
seluruh pembangunan infrastrukturnya berada di bawah permukaan tanah di atur
sebagai berikut.
Yang perlu diperhatikan adalah adakah pengaruh pemilik
tanah pemukaan terhadap pembangunan infrastruktur tersebut?
Contoh: Untuk pembangunan infrastruktur di bawah tanah,
contoh subway, yang signifikan dirugikan adalah tapak-tapak
tanah di daerah komersial dengan KLB tinggi. Bila di bawah tanah dibangun
sesuatu yang jaraknya kurang dari 10 meter, maka pemilik tanah tidak dapat
membangun bangunan tinggi karena penanaman pondasi ataupun pembangunan basement
menjadi terbatas.
Pada contoh kasus, menyatakan bahwa ruang bawah tanah yang
dipergunakan adalah sedalam 20-80 meter di bawah permukaan tanah. Untuk itu
perlu dianalisis apakah ada pengaruh pemilik tanah permukaan yang dominan lahan
pertanian dan areal kosong terhadap pembangunan pipa gas/air tersebut?
Untuk itu, apabila hendak dinilai maka potensi manfaat
ekonomi yang hilang dari pemanfaatan yang ada di bawah tanah tersebut yang menjadi
nilai ganti kerugiannya. Sehingga jawaban untuk kasus di atas adalah iya dan
tidak, tergantung dari potensi manfaat ekonominya.
Perlu dicatat bahwa untuk tanaman sawit dan karet,
pembangunan infrastruktur di bawah tanah akan memiliki pengaruh yang merugikan terhadap
perkembangan tanaman tersebut.
Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah:
Apabila tidak perlu
mendapat ganti kerugian, maka adakah kompensasi yang perlu diberikan kepada
pemilik tanah mengingat pemilik tanah juga memiliki hak untuk memanfaatkan dan
menggunakan ruang bawah tanah hingga ke perut bumi sehingga haknya menjadi
terganggu?
Tunggu di pembahasan selanjutnya.
Salam,
Ni Luh Asti Widyahari
Valuer and Property Consultant
asti@mbpru.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar