Senin, 30 Januari 2017

Kasus SPI 306: Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum di Ruang Bawah Tanah

Di dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2012, dijelaskan bahwa yang menjadi objek ganti kerugian dalam pengadaan tanah adalah tanah, ruang atas tanah dan bawah tanah, bangunan, tanaman, benda yang berkaitan dengan tanah, dan/atau kerugian lain yang dapat dinilai (Pasal 33). Lalu, bagaimana dengan penilaian pengadaan tanah untuk kepentingan umum khusus objek penilaian yang seluruhnya berada di ruang bawah tanah?

Contoh kasus:
Rencana pengadaan tanah untuk pembangunan saluran pipa gas atau air di kedalaman 20-80 m di bawah permukaan tanah. Pembangunan pipa gas atau air tersebut dilakukan dengan mesin bor seperti pembangunan subway di Jakarta (silent construction). Jenis penggunaan tanah di atas saluran pipa gas/air tersebut didominasi oleh lahan pertanian dan areal kosong. Pertanyaan: apakah pemilik tanah di permukaan mendapat ganti kerugian berdasarkan UU No. 2/2012 dan SPI 306 tentang Penilaian Ganti Kerugian untuk Kepentingan Umum?


Penjelasan:
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, terdapat beberapa hal yang perlu ditelaah terlebih dahulu.

1. Ruang Bawah Tanah dan Asas Pemisahan Horizontal

Di dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2012, dijelaskan bahwa yang menjadi objek ganti kerugian dalam pengadaan tanah adalah tanah, ruang atas tanah dan bawah tanah, bangunan, tanaman, benda yang berkaitan dengan tanah, dan/atau kerugian lain yang dapat dinilai (Pasal 33).

Terkait ruang bawah tanah, Peraturan Presiden No. 17 Tahun 2012 (Pasal 1, ayat 22) pun menyatakan ruang atas tanah dan bawah tanah adalah ruang yang ada dibawah permukaan bumi dan/atau ruang yang ada di atas permukaan bumi sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah.

Saat ini belum ada peraturan khusus tentang pemanfaatan ruang bawah tanah. Namun, pembahasan mengenai ruang bawah tanah sedikitnya terdapat pada Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Terkait dengan hal ini, maka perlu diketahui mengenai asas pemisahan horizontal yang dianut oleh Indonesia.

Asas pemisahan horizontal memiliki pengertian tanah hanya meliputi permukaan tanah saha sehingga apa yang melekat atau berdiri di atasnya dan apa yang terkandung di bawahnya bukanlah satu kesatuan melainkan bentuk-bentuk yang terpisah. Oleh karena itu, tanah terpisah dari benda yang berada di atas tanah itu, sehingga pemilik tanah atas tanah dan bangunan yang berada di atasnya dapat berbeda.

Terkait pula dengan pemberian kewenangan hak atas tanah. Hak atas tanah hanya sebatas permukaan tanahnya saja sedangkan bangunan atau apapun yang melekat di atas tanah akan berbeda hak kepemilikannya dengan tanah tersebut. Hal ini membuka kemungkinan bahwa individu yang menjadi pemegang hak atas benda yang melekat di atas tanah berbeda dengan individu yang memegang hak atas tanah. Sehingga, muncul istilah hak primer dan hak sekunder. Hak primer mencakup hak milik dan hak menguasai oleh negara. Sedangkan hak sekunder mencakup hak pengelolaan (HPL), hak pakai (HP), hak guna bangunan (HGB), hak guna usaha (HGU), dan sebagainya.

Asas pemisahan horizontal tertuang pada UUPA (Pasal 4 ayat (2), yang berbunyi:
Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-undang ini dan peraturan hukum lain yang lebih tinggi.”

2. Hak atas Tanah

Tanah dalam pengertian kepemilikan adalah permukaan, sementara apa yang ada di bawah tanah hanya hak penggunaan atau hak pemanfaatan. Dalam pengertin real property, hak penggunaan atas tanah adalah hingga ke perut bumi.

3. Analisis Pengadaan Tanah di Ruang Bawah Tanah

Terkait dengan pengadaan tanah bagi kepentingan umum yang seluruh pembangunan infrastrukturnya berada di bawah permukaan tanah di atur sebagai berikut.
Yang perlu diperhatikan adalah adakah pengaruh pemilik tanah pemukaan terhadap pembangunan infrastruktur tersebut?

Contoh: Untuk pembangunan infrastruktur di bawah tanah, contoh subway,  yang signifikan dirugikan adalah tapak-tapak tanah di daerah komersial dengan KLB tinggi. Bila di bawah tanah dibangun sesuatu yang jaraknya kurang dari 10 meter, maka pemilik tanah tidak dapat membangun bangunan tinggi karena penanaman pondasi ataupun pembangunan basement menjadi terbatas.

Pada contoh kasus, menyatakan bahwa ruang bawah tanah yang dipergunakan adalah sedalam 20-80 meter di bawah permukaan tanah. Untuk itu perlu dianalisis apakah ada pengaruh pemilik tanah permukaan yang dominan lahan pertanian dan areal kosong terhadap pembangunan pipa gas/air tersebut?

Untuk itu, apabila hendak dinilai maka potensi manfaat ekonomi yang hilang dari pemanfaatan yang ada di bawah tanah tersebut yang menjadi nilai ganti kerugiannya. Sehingga jawaban untuk kasus di atas adalah iya dan tidak, tergantung dari potensi manfaat ekonominya.

Perlu dicatat bahwa untuk tanaman sawit dan karet, pembangunan infrastruktur di bawah tanah akan memiliki pengaruh yang merugikan terhadap perkembangan tanaman tersebut.

Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah:

Apabila tidak perlu mendapat ganti kerugian, maka adakah kompensasi yang perlu diberikan kepada pemilik tanah mengingat pemilik tanah juga memiliki hak untuk memanfaatkan dan menggunakan ruang bawah tanah hingga ke perut bumi sehingga haknya menjadi terganggu?

Tunggu di pembahasan selanjutnya.


Salam,


Ni Luh Asti Widyahari
Valuer and Property Consultant
asti@mbpru.com



Tidak ada komentar:

Posting Komentar